Bagian Operasi

Polres Karawang

Peran Polri Pada Era Demokrasi Guna Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri Dalam Rangka Pembangunan Nasional

Posted by yukirenemal pada Juli 3, 2009

Oleh: Chairudin Ismail

Peranan dan kedudukan Polri sudah menjadi salah satu pembicaraan serius bangsa sejak awal reformasi pada tahun 1998, dan sepanjang tahun 1999, ramai didiskusikan dalam forum seminar, tulisa-tulisan dimedia cetak, yang bermuara pada penetapan kesepakatan bangsa memisahkan Polri dari organisasi TNI, pada April 1999 yang dulunya bernama ABRI. Pada masa itu, disepakati suatu masa transisi yang masih menempatkan kedudukan Polri dibawah Menhankam, kemudian pada era berikutnya Polri ditetapkan sebagai organisasi yang mandiri, berkedudukan langsung dibawah Presiden. Pada waktu itu, komponen bangsa menginginkan Polisi menjadi penjaga nilai-nilai sipil dalam berdemokrasi (the guardian of the civil values).
Meskipun telah diundangkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tampaknya masih terus terjadi berbagai persoalan (kekhawatiran) terhadap kedudukan dan peranan Polri di era reformasi ini, baik dikalangan Polisi sendiri maupun dikalangan luar kepolisian. Hal ini memberi pertanda bahwa masalah ini, memang sangat penting dalam hubungannya dengan iklim demokratisasi yang ingin dibangun di era reformasi ini. Dikatakan sangat penting, karena Kepolisian di Negara Demokrasi memang memiliki kewenangan hukum untuk menggunakan cara-cara pemaksaan dan kekerasan, sementara terhadap dua peranan yang kadang kala ambivalen, dan bahkan bertolak belakang, yaitu: sebagai “penegak hukum” dan sebagai “pemelihara ketertiban” yang menuntut sosok yang juga ambivalen, yakni, sosok the stronghand of law and soceity, sekaligus sosok the softhand of law and soceity. Peran dan sosok seperti itu, sangat berpengaruh dalam kehidupan berdemokrasi, namun juga berpotensi disimpangkan atau disalahgunakan. Karena itu, Kepolisian senantiasa perlu dikontrol baik secara internal maupun secara eksternal, sebagai wujud dari akuntabilitas Publik dinas Kepolisian.

Dipandang dari sudut sosiologis, peranan (role) akan senantiasa berkaitan dengan suatu kedudukan (status), dengan demikian memahami peranan Polri tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi Kepolisian dapat dikelompokkan kedalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu sama lain, yakni: fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban umum (preservation law and order). Fungsi-fungsi Kepolisian demikian itu kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni: peran sebgai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai pemelihara ketertiban (law and order maintenance), peran sebagai juru damai (peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant). Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada out put melindungi (to protect), dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi penjaga nilai-nilai sipil dalam iklim kehidupan berdemokrasi.
Pemahaman diatas, ternyata hingga sekarang ini menghadapi berbagai hambatan akibat pusaran praktek demokratisasi dan penataan sistem hukum, yang masih seringkali menjebak kepolisian kembali pada pendekatan keamanan (kekerasan) ataukah tetap pada pemahaman yang seadanya, dengan segala ketidakberdayaan menghadapi letupan-letupan pertikaian, kerusuhan, dan terorisme, serta desakan keras untuk penegakan hukum bagi pelaku korupsi. Kita mengetahui bahwa reformasi politik sesungguhnya memberikan beban yang tidak kecil bagi Polri demikian pula reformasi hukum yang telah melahirkan berbagai pergeseran sistem hukum, yang kadang tidak disadari, khususnya oleh Polri dan aparat penegak hukum lainnya. Dalam kondisi seperti itu, desakan rakyat kepada Pemerintah atas penyelesaian kasus-kasus hukum dan tekanan organisasi internasional menjadi beban lain yang tidak kecil bagi Polri.

Polri Dalam Pusaran Pergeseran Sistem Politik Dan Hukum
Reformasi yang diusung oleh mahasiswa tahun 1998 telah berulir kurang lebih sewindu, dengan segala dinamikanya, namun cita-cita awal yang diusung itu tampaknya belum menunjukkan hasil yang memadai justru yang terjadi adalah proses tambal sulam dalam kemasan perbaikan untuk rakyat, namun masih sangat jauh dari cita-cita masyarakat adil dan makmur. Justru yang terjadi adalah peralihan kekuasaan yang modelnya tetap sama yakni cendrung sentralistik, pendekatan power dan keamanan, lebih sering berpihak kepada yang kuat dan seterusnya. Mafia peradilan masih eksis dengan modus operandi yang lain, korupsi kepolisian berganti warna apa saja, namun cenderung hanya memitoskan tokoh-tokoh yang dianggap berani, tegas dan bersih dalam menangani kasus terorisme, kerusuhan dan korupsi, sementara hasil akhir yang memuaskan bagi keadilan dan kemakmuran rakyat tidak tampak secara nyata.
Berbagai agenda reformasi dilakukan secara tergesa-gesa, emosional, dengan arah yang seolah-olah reformis, namun tanpa arah konseptual yang mantik. Masing-masing berlangsung dengan sasaran pragmatis yang katanya dapat menyelesaikan persoalan besar bangsa, akan tetapi ternyata justru melahirkan persoalan-persoalan lain yang tidak kalah rumitnya. Dalam hubungan inilah, kita semua, segenap komponen bangsa, khususnya generasi muda seyogyanya merefleksi kembali berbagai pemahaman, kesepakatan, dan agenda reformasi tersebut guna diproyeksikan sesuatu pelaksanaan agenda reformasi kedepan melalui kompetensi masing-masing.
Bagi Polri, penting untuk disimak kembali reformasi politik yang telah mengakibatkan perubahan paradigma Polri menjadi Polisi Sipil, disamping reformasi hukum yang telah berpihak pada keadilan. Reformasi politik, mencanangkan ditelinga kita akan semakin berkurangnya sentralisasi kekuasaan, artinya Polisi juga tidak boleh bertumpu pada komando yang berpusat. Kepentingan-kepentingan rakyat harus diutamakan didalam melakukan peranan Kamdagri dalam rangka pembangunan, demikian pula dukungan Polri kepada otonomi daerah harus kongkrit, berlandaskan kehendak masyarakat lokalitas. Segenap aturan perundang-undangan perlu dipahami dan diarahkan untuk mendukung wacana reformasi itu secara berkesinambungan.
Akan tetapi, jika diperhatikan perjalanan reformasi politik secara cermat, maka intervensi yang terselubung politisi terhadap Polri masih tetap saja eksis. Perhatikan saja kasus pemilihan presiden tahun 2004, dan berbagai peristiwa politik lainnya. Pada tataran wacana, ribut diteriakkan netralitas Polri, namun pada tataran implementasi tampak keberpihakan yang nyata. Masih banyak jabatan tinggi Polri yang dipengaruhi oleh intervensi politisasi, sebagai akibat banyaknya pejabat Polri yang ragu dan takut untuk bertindak secara profesional. Untuk memahami gejala ini, ada baiknya kita simak bersama pergeseran-pergeseran sistem yang menyertai reformasi. Berbagai undang-undang yang telah dilahirkan diera reformasi, sebagian besar dari UU itu sudah menganut pendekatan sistem hukum campuran, yakni dengan masuknya berbagai konsep, prinsip dan azas hukum sistem hukum Anglo Saxon ke dalam perundang-undangan selama proses reformasi, yang masih sama sekali asing dari preseden tugas-tugas Polri, Kejaksaan dan Hakim.
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan adalah prinsip “retroaktif” dalam tindak pidana HAM, pertanggung jawaban individual, non-impuniti dan seterusnya. Begitu pula dengan konsep “pembalikan beban pembuktian” dalam perkara korupsi, konsep ultra vires dalam UU Perseroan Terbatas, strict liability, dan seterusnya merupakan pergeseran sistem yang sering kali tanpa disadari oleh para penegak hukum termasuk Polri. Pada sistem hukum pidana, yurisdiksi nasionaliteit telah bergeser menjadi internasionaliteit pada beberapa jenis perbuatan pidana, seperti pelanggaran HAM, korupsi, money laundring dan organized crime, misalnya. Prinsip-prinsip hukum internasional telah mempengaruhi hukum pidana nasional dan hukum acaranya, sedemikian rupa sehingga perlu dilakukan upaya harmonisasi konsep yang cermat dan hati-hati, agar pelaksanaannya tidak kontradiksi satu sama lain. Demikian pula, kebiasaan membedakan (bahkan memisahkan) secara kaku antara hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana, telah menjadikan lobang-lobang hukum (Legal loo phole) yang berpotensi melemahkan penerapan dan penegakan hukum dalam menyelesaikan perkara in konkrito.
Pada banyak kasus yang ditangani oleh Polri, pendekatan hukum pidana saja tampaknya tidak lagi memadai. Pada perkara korupsi, perlu dilakukan jembatan-jembatan pembuktian yang bersumber dari hukum administrasi, hukum perdata, untuk dapat membuktikan suatu pelanggaran pidana. Semangat hukum pidana sebagai ultimatum remedium yang seringkali diingkari, dengan dalih bahwa kejahatan yang bersangkutan sudah demikian sistematik, hukum pidana ingin difungsikan sebagai premium remidium, padahal dengan pendekatan hukum administrasi perdata, barangkali justru lebih mengah tercapainya cita-cita hukum, yakni keadilan. Sebagai akibatnya, seringkali penerapan hukum pidana menjadi tumpul dan tidak lagi menimbulkan efek jera.
Pusaran pergeseran sistem yang belum sepenuhnya disadari dalam pelaksanaan tugas-tugas Polri, tentunya menuntut refleksi guna menemukan kebijakan dan cara-cara baru (yang lebih compatibel) dalam menyelesaikan masalah Kamdagri dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.

Peranan Kepolisian Dan Demokratisasi
Polisi seringkali dipersepsi sebagai aparat anti demokrasi, karena ditangan Polisilah kekerasan dan pemaksaan atas nama Negara dapat ditonton secara benderang. Polisi memblokir jalan untuk menghalangi para demonstran, bahkan seringkali terjadi bentrokan antara Polisi dan pengunjuk rasa dengan akibat korban di kedua belah pihak. Kedudukan
Polisi dan fungsi yang diembannya memang seringkali dimanfaatkan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, atau memaksakan kehendaknya kepada rakyat yang dianggapnya membangkang. Karena itu, dalam proses demokratisasi ini Polisi menjadi salah satu sasaran yang perlu dibenahi atau di reformasi, agar dapat berfungsi sebagai pilar demokrasi, yakni penjaga dan pemelihara nilai-nilai sipil dalam kehidupan masyarakat (the guardian of the civil values). Harapan ini bertumpu pada keyakinan bahwa pada kehidupan masyarakat demokratis , “hukum” pada hakekatnya adalah consensus egaliter segenap elemen masyarakat, yang proses pembentukannya melibatakan aspek-aspek politik dan budaya selain aspek yuridis.
Dalam berbagai literature, teori dan konsep pemolisian (policing) di Negara demokrasi dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) golongan besar yang kontradiktif, yaitu: pertama : Toeri dan konsep yang konvensional, yang menonjolkan kehadiran sebagai sebagai Polisi dan penegak hukum (law enforcement official). Kompleks pemolisian demikian itu berciri: (a) control hukum, (b) skenario cendrung refressif, (c) berbasis teori hukum positif, (d) bersifat teurapeutik (theurapeutic). Pada penggolongan ini, Polisi ingin memperkuat diri, baik melalui penguatan personel , maupun peralatan demi mengontrol masyarakat secara efektif. Penggunaan hukum sangat dikedapankan dengan polisi sebagai mobilisatornya. Penggolongan kedua, yakni: Teori dan konsep yang lebih modern, yang bersebrangan dengan golongan pertama, Polisi ingin membagi beban pemolisian kepada warga masyarakat melalui kemitraan, dengan ciri-ciri: (a) kontrol oleh warga masyarakat (self helf), (b) skenario pemolisian yang humanistic, (c) berbasis teori altruisme, (d) bersifat konsilitori (conciliatory). Disini justru Polisi ingin membatasi diri dalam melakukan kontrol terhadap masyarakat, dan mendorong warga masyarakat untuk mampu menjaga dan menertibkan diri sendiri. Masyarakat tidak setiap kali didorong berpaling kepada hukum, melainkan berpaling kepada sesama warga masyarakat (turning to others and to engage in more self helf). Perbedaan utama kedua konsep ini terletak pada wawasan tempat Polisi untuk menertibkan dan mengamankan, sementara yang lain justru berusaha melakukan de-policing.
Di dalam kenyataan praktik, kedua golongan itu tidak dapat dipisahkan secara hitam putih, karena berbagai ragam fungsi yang berbeda dalam pemolisian, khususnya pada fungsi memerangi kejahatan (fighting crime) dan melindungi warga (protecting people), kehadiran petugas Polisi lebih diutamakan sekalipun juga dapat bertumpu pada upaya-upaya preventif sebelum menemukan upaya-upaya yang bersifat refressif. Dengan demikian sebagaimana telah disebutkan diatas, peranan yang diemban Polisi meliputi (4) empat bidang yaitu selain sebagai badan penegakkan hukum (law enforcement agency), juga sebagai pemelihara ketertiban umum (preservation public order), juru damai (peace keeping official), dan pelayanan publik (public servant).
Pada kenyataannya, sikap dan watak serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengemban fungsi-fungsi tersebut diatas memang sangat berbeda. Fungsi memerangi kejahatan membutuhkan watak personel Polisi yang cermat, hati-hati, penuh rasa curiga (tidak gampang percaya), dan ulet menghadapi tipu daya pelaku kejahatan yang semakin canggih, fungsi memelihara ketertiban membutuhkan watak personel Polisi yang sabar, bijaksana, suka menolong, tahan menghadapi cemoohan dari warga yang tidak paham, dan seterusnya.
Sementara fungsi melindungi warga membutuhkan sosok Personel Polisi yang ulet, kuat/perkasa untuk mematahkan perlawanan, dan menghadapi ancaman kekerasan. Memadukan sosok watak tersebut pada satu orang adalah usaha yang sulit kalau tidak mustahil.
Masalah sosial yang harus dihadapi Polisi pada masyarakat demokrasi, ternyata bukan hanya kejahatan, tapi juga ketidaktertiban umum, dan berbagai sengketa warga masyarakat yang menuntut penyelesaian (dispute resulution). Kejahatan beragam jenisnya, mulai dari pencurian kecil-kecilan yang dilakukan oleh orang-orang karena kemiskinan (kepapaan), hingga pada penipuan (fraudulent) dan korupsi yang dilakukan karena keserakahan (ketamakan); penganiayaan karena sengketa dan salah paham antar tetangga atau teman, hingga kerusuhan karena pembalasan dendam atau karena konflik etnis/agama, dan terorisme. Kejahatan oleh para pelaku bisnis, kejahatan oleh kekuasaan (politisi), kesemuanya menuntut respon Polisi yang hasilnya sangat bergantung pada ukuran harapan-harapan masyarakat. Sementara itu, di dalam masyarakat senantiasa terdapat harapan-harapan yang mungkin saling berkontradiksi satu sama lain. Karena itu, Polisi pada masyarakat demokrasi senantiasa dihadapkan pada dilema peranan, antara apakah ia akan dipandang sebagai “penertib” ataukah ”pengusik”, antara apakah ia akan dipandang sebagai “pengayom” ataukah “penindas” antara apakah ia akan dipandang sebagai “pelayan” (servant) ataukan ”majikan” (master).
Karena itu, oleh Bittner, tugas Polisi disebutkan sebagai “weaving line” (garis bergelombang) yang disuatu keadaan akan lebih mengutamakan ketertiban namun pada keadaan lain akan mengedepankan penegakan hukum. Hal tersebut tidak mungkin dikemas dengan pengaturan pemerintah dan komando dari seorang atasan dikantor, akan tetapi lebih merupakan interpretasi-interpretasi petugas lapangan terhadap masalah kongkrit yang dihadapi. Disinilah antara lain perbedaan pokok antara Polisi dan Militer dalam menghadapi tugas-tugasnya.
Kriteria Universal yang menjadi acuan Polri didalam reformasi kepolisian tahun 1999, adalah Polisi yang responsive (responsivness); Polisi yang terbuka (openness), dan Polisi yang akuntabel (accountability). Kriteria tersebut telah melahirkan kesepakatan untuk menganut suatu kepolisian nasional yang bersistem integral (integrated sytem) dan bukan centralized system (seperti di Perancis) atau fragmented system (seperti di AS). Kepolisian Nasional itu, direpresentasikan oleh satu Mabes yang membawahi kepolisian daerah. Lembaga Kepolisian Nasional (LKN) yang kemudian disebut sebagai Komisi Kepolisian Nasional dibentuk untuk mengawasi dan menjamin akuntabilitas kepolisian, dan perpolisian komunitas (community policing) dijadikan landasan strategi pemolisian yang responsip dan terbuka.
Setelah waktu berjalan hampir sewindu, banyak keputusan dan Undang-Undang antara lain berkenaan dengan Kepolisian telah diterbitkan, namun masalah peranan dan kedudukan Polri memang masih sering dipertanyakan, terutama dari sudut pandang sosial politik. TNI secara yuridis dan doktrin telah dinyatakan tidak lagi terlibat pada politik praktis, namun menghadapi ancaman terorrisme, kerusuhan etnik, bencana alam, muncul keinginan memerankannya, karena institusi fungsional dianggap lambat atau tidak berdaya. Demikian pula Polri, dan aparat penegak hukum lainnya, seringkali dianggap kurang berdaya menghadapi korupsi atau berbagai persolan kejahatan lainnya. Menurut pendapat saya, hal ini lebih disebabkan masih banyaknya konsep-konsep dasar demokrasi yang belum disepakati (baca belum “dimengerti” secara jernih). Sebagai contoh, konsep keamanan nasional (national security) masih terdapat perbedaan konsep antara yang cenderung menganut paham sempit. Yaitu meliputi Kamdagri saja, dengan faham yang luas yang menganggapnya meliputi bidang ekonomi, politik, dan masalah luar negeri yang sudah pasti berkaitan dan mempengaruhi keamanan suatu bdengan bangsa. Contoh lain adalah konsep supremasi sipil, otda yang luas dengan Negara Kesatuan, antara Presidential dan perlementer, makna “independent”, makna “pengawasan” dan check and balance” dan seterusnya.
Perbedaan konsep dan makna tersebut diatas telah menjadikan sistem ketatanegaraan, hukum yang rancu, berjalan berputar-putar, yang membuat sebagian rakyat membandingkan bahwa era Orba lebih baik, tertib, lebih gampang memperoleh penghasilan dan seterusnya. Dalam kondisi seperti itu, Polri juga mengadapi tentangan yang tidak sedikit, dan bahkan terseret oleh berbagai arus yang kalau tidak hati-hati akan membawa reduksi pengabdian dan professionalisme, bahkan bencana demokrasi, meskipun dalam jangka pendek terlihat sebagai kemajuan-kemajuan.

Akuntabilitas Kepolisian
Kepolisian yang memiliki kewenangan (power) untuk memaksa dan mengurangi hak-hak warga negara, atas nama hukum, memang perlu dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebab selain bahwa kekuasaan itu cenderung dapat disimpangkan, masyarakat yang berdaulat harus memiliki akses untuk mengontrol kekuasaan negara/pemerintahnya, termasuk kepolisiannya. Karena itu, perlu dibentuk suatu Komisi Kepolisian (Police Commission), yang merupakan badan independent yang senantiasa memantau keseimbangan antara tugas-tugas yang berat dan luas itu dengan ketersediaan sarana dan metoda yang dipergunakan, agar dengan demikian baik Polisi maupun warga negara tidak dirugikan di dalam suatu tindakan pemolisian.
Komisi Kepolisian sebenarnya bermakna Komite, yang diadopsi dari istilah Police Council atau Police Commission di Inggris. Di Jepang komisi ini disebut sebagai National Police & security Commission, yang merupakan suatu badan independent, tugasnya antara lain melakukan pengawasan kepolisian dalam iklim civil society terhadap penyalahgunaan kekuasan yang melanggar hak-hak asasi warga. Bentuk pengawasan itu berimbang, dalam artian kemampuan negara untuk membiayai kepolisiannya, dengan kemampuan dan ketrampilan yang dituntut terhadap institusi kepolisian tersebut. Dengan demikian, diharapkan terselenggaranya akuntabilitas kepolisian secara obyektif, tidak emosional, atau sekedar politis. Bahkan di Inggris metoda dan tujuan pemolisian local harus disetujui oleh warga (policing by consent), karena yang paling mengkhawatirkan bagi warga adalah kemungkinan kehadiran kepolisian yang menindas hak-hak mereka.
Mengapa perlu adanya pengawasan masyarakat? Bukankah tidak cukup dengan adanya pengawasan internal organisasi kepolisian? Atau pengawasan DPR melalui forum dengar pendapat? Memahami hal ini, kiranya “kewenangan” Polisi dalam penggunaan paksaan dan kekerasan terhadap warga perlu disimak lebih dalam lagi. Kewenangan itu, pada hakekatnya merupakan pengejawantahan kekuasaan negara yang memaksakan kehendaknya (dalam bentuk aturan) kepada warganya dengan alasan keamanan dan ketertiban. Hukum dan Undang-Undang pada hakekatnya berisi perintah-perintah yang harus dipatuhi, sehingga memerlukan alat pemaksa, yakni kepolisian. Padahal juga dipahami bahwa kekuasaan itu cenderung disimpangkan (power tends to corrupt), lebih-lebih jika kekuasaan itu bersifat absolute, tanpa pengoreksi, selain itu, semua peralatan, gaji kepolisian dibayarkan dari pajak rakyat, sehingga wajarlah jika warga memiliki jaminan bahwa penggunaan dana tersebut tidak digunakan untk menindasnya, tetapi untuk melindunginya.
Polisi, karena tugas pekerjaannya, telah melahirkan “budaya pekrjaan” (occupational culture), tanpa disadarai, sebagai akibat tuntutan tugas yang cenderung bertindak segera (responsif), kadangkala memperoleh perlawanan fisik, ejekan atau cemoohan. Budaya pekerjaan itu antara lain sikap “solidaritas” (yang negatif), sikap kerahasiaan (secrecy) yang berakar dari budaya depensif. Sikap solidaritas positif tentunya bermakna kesetiakawanan terhadap penderitaan kawan sejawat, namun yang berkembang disini adalah solidaritas negative, yakni membela kawan demi korps tanpa melihat benar salahnya suatu tindakan. Budaya ini mengental dikalangan Polisi tingkat bawah yang sering menghadapi kenyataan cemoohan, ejekan warga masyarakat, bahkan perlawanan, dan bentrokan fisik, yang kadangkala berakibatk luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Pengalaman ini ditularkan oleh polisi-polisi lama kepada polisi-polisi yang baru untuk waspada, agar tidak menjadi korban. Bagi mereka, Polisi-polisi tersebut sulit dipahami, mengapa kerja keras Polisi untuk mengamankan dan melindingi warga justru direspon permusuhan demikian itu. Sikap kerahasiaan, adalah budaya tutup mulut (keep silent) terhadap kesalahan teman sejawat. Kesalahan semacam itu, bagi mereka lumrah, sangat manusiawi, didalam suasana kerja yang penuh tekanan dan kekerasan. Polisi yang sering buka mulut, dianggap tidak jantan, tidak patriotik, alias banci sehingga dihayati sebagai tinadakan yang tidak terpuji.
Karena itu, pada awal era reformasi kepolisian, 1 Juli 1999, komisi kepolisian itu dirumuskan: (a) sebagai pengawasan kepolisian oleh masyarakat (akuntabilitas terbuka), (b) Sebagai motivator peningkatan kinerja kepolisian yang menampung keluhan masyarakat secara independent, (c) Sebagi penggalangan sumber daya untuk keperluan kepolisian dari masyarakat lokalitas, karena disadari bahwa biaya pemolisian tidak mungkin sepenuhnya dapat dipikul oleh pemerintah. Dewasa ini, komisi kepolisian telah dirumuskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 pasal 37 sampai dengan pasal 40, bahkan telah diterbitkan PP No. 17 tahun 2005 untuk lebih mengaturnya. Pertanyaanya adalah apakah Komisi itu telah menjalankan fungsi dan peranannya sebagaimana yang telah dicita-citakan pada awal pembentukkannya.
Pengawasan internal kepolisian lebih ditujukan pada pertanggungjawaban dalam arti “responsibilitas”, yakni otoritas bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan, kekuasaan untuk mengawasi dan seterusnya berdasarkan pada penilaian internal organisasi.
Sementara itu, pengawasan Komisi Kepolisian dalam artian akuntabilitas, menyangkut kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, dan memberikan perhitungan yang tunduk pada penilaian dari luar organisasi (masyarakat).

Polri dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah menjadi pembicaraan hangat pada awal era reformasi, sebagai kilas balik kejenuhan atas “sentralisasi kekuasaan” yang tergelar selama periode Orba. Harapan tentang Otda juga diperkuat oleh wacana akademik sebelumnya, dengan terbitnya buku yang berjudul “Reinventing Government” yang di Indonesia terkenal dengan “Mewirausahakan Birokrasi”. Sebagaimana agenda reformasi lainnya, masalah Otda juga langsung dibuatkan dalam Undang-Undang yang terus direvisi, namun pelaksanaannya juga mengalami banyak hambatan, karena yang menjadi fokus adalah sekedar otonomi administratif saja, dalam artian perebutan atau bagi-bagi kekuasaan, sumber dana daerah melalui retribusi, pajak, dan pendapatan daerah sementara otonomi politik (devolusi) kurang mendapat perhatian, sebagai akibatnya kesejahteraan rakyat dan keadilan sangat kecil perkembangannya yang menonjol adalah munculnya kelompok-kelompok kepentingan pengejar kekuasaan dan berbagai perilaku yang koruptif. Hal ini tentunya menjadi beban baru bagi kepolisian yang juga kadang ikut larut didalamnya.
Peranan Polri dalam konteks otonomi daerah, seyogyanya difokuskan pada fungsi pemeliharaan ketertiban (preservation public order), mengingat bahwa ragam, bentuk, dan kebutuhan pemeliharaan ketertiban lebih bercorak lokalitas ketimbang nasional. Masyarakat lokalitas setingkat RT, RW, lebih realistis kebutuhan ketertibannya dibandingkan pada tingkat kabupaten misalnya, sehingga wujud community policing, seharusnya lebih diorientasikan pada Otda. Tentu saja, tidak semua gangguan Kamtibmas apalagi ganggiuan Kamdagri dapat diselesaikan melalui perpolisian komunitas. Terrorisme, kerusuhan, korupsi, kejahatan Cyber, merupakan bentuk-bentuk gangguan Kamtibmas yang tidak mungkin diselesaikan melalui perpolisian komunitas, namun akar-akar gangguan ini dapat dieliminasi secara dini, dengan lebih memusatkan perhatian kepada penyelesaian sengketa antar tetangga, membina keharmonisan sesama warga, membangun early detection terhadap gejala gangguan Kamtibmas tertentu.
Karena fungsi Otda lebih pada peningkatan kemajuan daerah, yang berarti sebagian besar memberikan jaminan keamanan dan ketertiban bagi warganya guna terwujudnya kesejahteraan, maka peran Polri dibidang ini dapat menunjang fungsi Otda tersebut. Sebaliknya, keterbatasan anggaran Polri dapat dikompensasi dari anggaran daerah yang bersangkutan. Salah satu hal yang masih sangat diabaikan sekarang ini dalam rangka Otda adalah otonomi politik (devolusi), dalam artian tersedianya ruang public (public sphere) bagi warga untuk mengemukakan kepentingannya. Forum yang ada seperti DPRD, LSM pada hakekatnya masih sangat absurd bagi kepentingan rakyat. Organisasi akar rumputpun (grassroot organization) kurang popular, dan dianggap berbau sosial/komunis, padahal justru akar rumput inilah yang paling berkepentingan terhadap kebijakan publik yang boleh jadi ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan mereka.
Memang banyak kita lihat organisasi LSM dan komisi yang sejenisnya, namun masih perlu disimak secara obyektif efektifitas keberadaan dan cara-cara kerjanya didalam mendorong dan memajukan demokrasi, termasuk menguatkan Otda. Secara ketatanegaraan perlu diperhatikan kemungkinan adanya dilema, bahkan kontradiksi antar Otda dan sistem Negara kekuasaan yang dianut. Dengan pengkajian cermat dan hati-hati pada makna-makna tersebut, mudah-mudahan peranan Polri akan menjadi lebih meningkat didalam memelihara Kamdagri, seirama dengan pembangunan nasional.
Sementara itu dalam bentuk kebijakan, sebenarnya Polri sudah membuat kerangka kearah penguatan Otda, dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar, operasional rutin kepolisian yang menjadikan pemolisian komunitas sebagai landasan (platform). Masalah berikutnya barangkali adalah menyiapkan Kepala KOD yang memiliki integritas kepemimpinan (leadership integrity) yang memadai, dengan kemampuan kreatifitas yang tinggi bersama staf, anak buah, dan peralatan yang dimilikinya, dapat senantiasa memberi respon terhadap keamanan dan ketertiban diwilayah tugasnya. Mereka tidak terlampau menunggu legitimasi dari komando atasan (Kapolwil/Kapolwiltabes dan atau Kapolda).
Dalam konteks sistem kepolisian yang integrated, harus diingat untuk tidak bergeser baik menjadi centralized system maupun fragmanted system, yang kelemahan-kelemahannya telah disadari oleh komponen bangsa sejak awal reformasi. Negara penganut kedua sistem itu adalah Negara daratan, sementara peganut sistem integrated adalah Jepang yang berwujud negara kepulauan. Fragmented system akan menjadikan organisasi berjalan dalam kebijakan yang saling berbeda, bahkan bertentangan, dan dapat membahayakan persatuan NKRI. Sementara centralized system akan menjurus pada perintah-perintah komando dari pusat yang diseragamkan, yang sebenarnya mungkin sekali memerlukan keluwesan ditingkat daerah (lokalitas).

Tinggalkan komentar